Deponeering, Penegak Hukum Harus Diperiksa | Republika Online - REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Bergulirnya deponeering dalam kasus Bibit-Chandra, membuat beberapa pihak menuntut adanya pemeriksaan pada sejumlah penegak hukum. Disinyalir adanya kongkalikong antar oknum penegak hukum untuk menjerat pimpinan KPK itu.
"Sejumlah jaksa dan aparat penegak hukum harus diperiksa. KPK juga harus mengusutnya dari Pasal 21 UU Tipikor tentang menghalangi penyidikan KPK," tegas Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, Ahad (31/10).
Hal tadi yang menjadi penekanan ICW di balik apresiasinya terhadap ide deponeering. Meski Febri menilai, sebenarnya pernyataan Kejaksaan Agung itu belum final. Lantaran tim yang dibentuk Plt Jaksa Agung Darmono ingin meminta pertimbangan pada pihak lain,meski tak mengikat.
Di sisi lain, Febri lebih memilih agar kasus ini masuk atau mencermati fakta pengadilan Anggodo Widjojo. Pasalnya, imbuhnya, yang bisa menentukan bersalah tidaknya Bibit-Chandra adalah pengadilan. "Kami minta KPK tak menganggap deponeering sebagai hadiah," cetus Febri.
Kaitan antara deponeering dan dugaan adanya rekayasa kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK itu sebenarnya mulai terkuak di pengadilan Anggodo yang divonis Agustus 2010 lalu. Saat itu,mantan penyidik Mabes Polri Kompol Farman mengungkapkan rekonstruksi pemeriksaan dan beberapa bukti yang mengindikasikan adanya rekayasa. Yakni rekaman antara Deputi Penindakan Ade Rahardja dan Ary Muladi yang tak ada.
Padahal mantan Kapolri Jenderal Purn Bambang Hendarso Danuri dan mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan ada 64 percakapan. Maka, untuk memperkuat dugaan di atas, ICW mendorong aparat penegak hukum agar membuka bukti dokumen rekaman yang telah diputar di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 lalu.
Serta dokumen klarifikasi Tim 8 yang menyebutkan ada mising link dan titipan rekayasa kasus. "Pengungkapan ini bukan untuk menyelamatkan Bibit-Chandra,tapi nama baik Kejagung dan kepolisian," ujar Febri.
"Sejumlah jaksa dan aparat penegak hukum harus diperiksa. KPK juga harus mengusutnya dari Pasal 21 UU Tipikor tentang menghalangi penyidikan KPK," tegas Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, Ahad (31/10).
Hal tadi yang menjadi penekanan ICW di balik apresiasinya terhadap ide deponeering. Meski Febri menilai, sebenarnya pernyataan Kejaksaan Agung itu belum final. Lantaran tim yang dibentuk Plt Jaksa Agung Darmono ingin meminta pertimbangan pada pihak lain,meski tak mengikat.
Di sisi lain, Febri lebih memilih agar kasus ini masuk atau mencermati fakta pengadilan Anggodo Widjojo. Pasalnya, imbuhnya, yang bisa menentukan bersalah tidaknya Bibit-Chandra adalah pengadilan. "Kami minta KPK tak menganggap deponeering sebagai hadiah," cetus Febri.
Kaitan antara deponeering dan dugaan adanya rekayasa kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK itu sebenarnya mulai terkuak di pengadilan Anggodo yang divonis Agustus 2010 lalu. Saat itu,mantan penyidik Mabes Polri Kompol Farman mengungkapkan rekonstruksi pemeriksaan dan beberapa bukti yang mengindikasikan adanya rekayasa. Yakni rekaman antara Deputi Penindakan Ade Rahardja dan Ary Muladi yang tak ada.
Padahal mantan Kapolri Jenderal Purn Bambang Hendarso Danuri dan mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan ada 64 percakapan. Maka, untuk memperkuat dugaan di atas, ICW mendorong aparat penegak hukum agar membuka bukti dokumen rekaman yang telah diputar di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 lalu.
Serta dokumen klarifikasi Tim 8 yang menyebutkan ada mising link dan titipan rekayasa kasus. "Pengungkapan ini bukan untuk menyelamatkan Bibit-Chandra,tapi nama baik Kejagung dan kepolisian," ujar Febri.