Nasionalisme versus Mentalitas Instan Generasi Muda

SUMPAH Pemuda, 28 Oktober 2010 adalah hari penuh sejarah. Hari yang penuh sejarah itu patut kita syukuri karena melaluinya kesadaran kita dibangkitkan akan adanya kita saat ini merupakan proses adanya sejarah. Sejarah memberikan kita dasar pijak untuk menata masa kini sambil berjuang menuju masa depan yang lebih baik.

Sejarah mencatat bahwa selama beratus-ratus tahun negeri kita ini dijajah. Bangsa-bangsa penjajah seperti Portugis, Belanda dan Jepang dengan sistem perdagangannya telah mencaplok harta kekayaan dari rahim bumi kita seperti rempah-rempah di Maluku, lada di Sumatera, kapas di Bali, kayu cendana di Solor dan Timor (I Gede Parimatha, 88). Selain kekayaan alam yang hilang, negeri kita juga mengalami penderitaan berkepanjangan.

Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan oleh Pemuda Indonesia yang kita rayakan setiap tahun adalah titik awal dari rentang panjang sejarah masa lampau penuh penderitaan dan air mata. Suasana hidup sebagai warga bangsa tidak bebas, kita terbelenggu, hak-hak kita dibatasi, kita ditindas. Salah satu penyebab kita dijajah adalah lemahnya sumber daya manusia. Kala itu bangsa Kita belum memiliki orang-orang terdidik, dan cerdik pandai yang mempunyai kemampuan untuk menata dan membangun negeri ini secara baik dan bertanggung jawab serta mengolah kekayaan alam demi kesejahteraan masyarakat.

Penjajahan, apa pun wujud dan bentuknya pada hakekatnya melahirkan penderitaan. Kesadaran akan penderitaan berkepanjangan yang kita alami melahirkan perkumpulan dan organisasi-organisasi pejuang dalam diri generasi muda sebagai kekuatan untuk berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Organisasi kepemudaan itu seperti Yong Java, Yong Ambon, Yong Sumatera, dan Yong Celebes. Perjuangan ini pada awalnya masih bersifat individu, sporadis, kedaerahan namun lama-kelamaan muncul kasadaran baru membangun kekuatan bersama sebagai pemuda dan warga bangsa untuk melawan penjajah. Usaha dan perjuangan tanpa pamrih telah mencapai puncaknya pada persatuan para pemuda dalam sumpah atau ikrar mereka pada tanggal 28 Oktober 1928.

Kemerdekaan yang kita capai bukan merupakan hadiah atau pemberian cuma-cuma dari bangsa penjajah, melainkan murni perjuangan para pahlawan bangsa. Dasar perjuangan para pahlawan hingga kemerdekaan adalah semangat nasionalis. Nasionalisme adalah semangat kebangsaan. Paham kebangsaan muncul karena dilandasi oleh rasa senasib, sebangsa dan setanah air. Kesadaran ini karena beban penderitaan, kesengsaraan dan kepahitan yang dialami bersama, karena itu menuntut perjuangan bersama untuk membebaskan diri dari penderitaan. Untuk itu harus ada semangat persatuan dan kesatuan (Otto Bauer, 1882-1839).

Selain semangat persatuan dan kesatuan didukung pula oleh semangat cinta tanah air, rela berkorban, rasa kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan, saling menghargai, dan membangun kerja yang solid serta direstui oleh Allah, maka Indonesia boleh merdeka. Tanpa semangat nasionalisme, maka sia-sialah perjuangan Ir. Soekarno dan rekan-rekannya. Ini fakta sejarah. Kebenaran boleh diputarbalikan, sejarah boleh dijungkirbalikan, tetapi fakta sejarah tidak bisa melupakan tokoh yang satu ini, Ir. Sokarno. Dalam semangat nasionalisme yang tinggi dia telah membakar semangat juang warga bangsa untuk terus berjuang dan merdeka.

Cita-cita proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia adalah Indonesia didirikan atas paham kebangsaan karena atas dasar itulah Indonesia merdeka. Cita-cita proklamasi bukan hanya merdeka, tetapi melalui kemerdekaan itu akan dibangun masyarakat bangsa (nation building) yang sejahtera, adil dan makmur. Karena itu dalam pidatonya, Ir. Soekarno berkata "Kemerdekaan adalah jembatan emas, di seberang jembatan itu akan dibangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur." Demikian halnya dengan orde baru, lahir dengan komitmen yang sama, yaitu membangun masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir batin. Ini adalah komitmen bangsa yang terus dibangun dan diperjuangkan oleh seluruh warga bangsa dan terutama generasi muda pelajar, karena perwujudan cita-cita ini akan mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya sebagai manusia Indonesia yang merdeka.

Menurut Soekarno, nasionalisme adalah kecintaan pada bangsa dan tanah air. Karena itu, nasionalisme generasi muda harus bersumber pada Pancasila yang merupakan kristalisasi kemajemukan nilai-nilai budaya yang ada dalam bumi Indonesia, yang berakar dalam kepribadian bangsa dan diterima sebagai sendi dasar yang mengatur hidup ketatanegaraan. Selain itu, Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka dan dinamis terhadap segala bentuk perubahan pembaharuan dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, apakah generasi muda, para pelajar kita saat ini telah memiliki dan menghayai semangat nasionalisme dalam mengisi kemedekaan? Ir. Soekarno dalam kesempatan pidatonya menegaskan kepada generasi muda "Kepadamu kutitipkan bangsa dan negara ini." Pernyataan ini sangat menantang karena di dalamnya terkandung kepercayaan sekaligus tanggung jawab yang besar kepada generasi muda dalam membangun negeri ini.

Semangat nasionalisme yang menjadi cita-cita atau semangat dasar berdirinya negeri ini (nation building) kini, secara perlahan-lahan bergeser. Ada pergeseran paradigma. Pergeseran paradigma dipicu oleh berkembang pesatnya arus teknologi dan informasi. Tantangan yang muncul saat ini adalah lahirnya budaya materialistik dan hedonistik yang mengakibatkan nilai-nilai dan pandangan hidup masyarakat ditentukan oleh media massa, radio, terutama televisi. Siaran televisi yang paling dominan adalah iklan, mulai dari mode pakaian, film, alat kesehatan dan obat-obatan hingga menu makanan.

Arus globalisasi yang kian dahsyat ini melahirkan pula tantangan-tantangan baru juga dalam hal pola pikir dan pola tindak masyarakat pada umumnya, termasuk generasi muda. Kemajuan tekonologi mendatangkan pula kemudahan-kemudahan dalam hidup manusia. Teknologi telah menjadikan hidup manusia menjadi lebih gampang. Kemudahan teknologi menunbuhkan sikap cari gampang (easy going) atau mentalitas instan. Orang tidak mau bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dan bermartabat bagi hidupnya tetapi dengan sedikit berkorban ingin mendapat hasil yang besar. Misalnya, membeli kupon putih seharga seribu rupiah dan ingin mendapatkan keuntungan ratusan ribu rupiah. Atau di kalangan siswa-siswi kita ingin lulus ujian nasional, tetapi tidak belajar. Besok menghadapi ujian malam harinya duduk berleha-leha menunggu kunci jawaban palsu yang tidak jelas sumbernya. Hasilnya adalah kemerosotan jumlah ketidaklulusan dan merosot pula moralitas generasi muda kita.

Ciri lain dari mentalitas instan adalah tidak mau repot dan berlama-lama, semua serba cepat. Dulu orang menggunakan sapu tangan, kini diganti dengan tisu, sekali pakai langsung dibuang (wasted) daripada repot mencuci. Membeli barang sekali pakai langsung dibuang. Demikian pun makanan tidak perlu menunggu untuk diolah berlama-lama tetapi cukup diseduh dengan air panas beberapa saat kemudian langsung dikonsumsi. Banyak produk instan yang kita jumpai dalam hidup, ada mie instan, susu instan, kopi instan, bubur instan. Mentalitas instan menyebabkan sikap cari gampang, tidak mau berkorban, apatis, lesu dan hilangnya rasa percaya diri.
Berhadapan dengan problematika generasi muda kita saat, maka hendaklah kita menjadi sadar, bahwa kita adalah pelaku sejarah. Sejarah masa lampau dengan segala persoalan tersendiri yang meliliti hidup dan perjuangan masyarakat pada zamannya. Dan sejarah itu telah dikisahkan dari waktu ke waktu dalam setiap peristiwa kenegaraan hingga kini. Maka antara generasi terdahulu dan generasi muda zaman ini yang sama-sama adalah pelaku sejarah perlu membangun suatu dialog antargenerasi untuk menanamkan semangat nasionalisme generasi muda.


Manusia khususnya generasi juda membutuhkan dunia untuk perkembangannya. Hal mana tampak dalam 'kerja'. Kerja adalah ekspresi pribadi manusia dalam keseluruhan aktivitasnya. Di satu pihak kerja bersifat membentuk manusia, memberi lebih dari sekadar sarana-sarana yang dibutuhkan oleh manusia dan dapat mengungkapkan nilai-nilai dan pengenalan diri dari hasil kerja tersebut. Kerja juga dapat bersifat membentuk masyarakat karena makna kerja itu dapat terwujud dalam bentuk solidaritas. Nilai-nilai humaninya terletak dalam menghasilkan bersama dan memberi bersama, (S Poespo Wardojo).

Jadi, etos kerja mau menyadarkan kemampuan dalam diri untuk dikembangkan dan diaktualisasikan keluar sebagai pengungkapan eksistensi diri yang manusiawi dengan tetap menerima segala kelebihan dan kekurangan dalam diri serta secara ikhlas mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain demi peningkatan hidup yang manusiawi dalam lingkungan sosial dan masyarakat.

Karena itu, para pemuda dituntut untuk bisa beradaptasi, berorientasi dalam pola pikir atau dengan kata lain adaptasi yang menyertakan hati dan pikiran dan berorientasi pada kepentingan umum. Pola pikir, pandangan, kekuatan penalaran dan hasil pembinaan ditujukan untuk kepentingan umum seluruh masyarakat sebagai realisasi dari denyut nadi generasi masa depan bangsa. Ada begitu banyak harapan bagi generasi muda. Kesanggupannya, sikap dinamis dan kreatif, vitalitas, mental yang jujur dan bertanggung jawab serta profesional. Para pemuda harus memberikan jawan atas tuntutan situasi dan kondisinya.

Perayaan Sumpah Pemuda yang selalu kita rayakan setiap tahun bukan merupakan suatu perayaan seremonial yang selalu terulang, tetapi merupakan momentum refleksi bagi kita semua sebagai warga bangsa dalam mengisi kemerdekaan ini. Refleksi kita akan menjadi lebih bermakna jika kita kembali bercermin pada sejarah para pejuang dalam semangat patriotisme mereka rela mengorbankan segala-galanya untuk memerdekakan bangsa ini. Hanya dalam sejarah kita generasi muda sebagai pelaku sejarah masa kini dapat mengisi lembaran-lembaran sejarah masa kini dalam semangat juang mereka.


Selain perayaan syukur atas kemerdekaan yang melahirkan rasa bangga kita akan tanah air Indonesia yang kita cintai bersama, kita juga sekaligus menegaskan komitmen kita untuk bangkit dan terus berjuang melawan arus hedonistik dan materialistik yang melahirkan gaya hidup instan. Gaya hidup instan harus diganti dengan budaya kerja keras, membangkitkan semangat gotong royong, tidak apatis, rajin belajar dan percaya pada diri sendiri agar kita tidak dijajah dan digilas oleh arus zaman.

Dalam semangat nasionalisme kita menemukan kembali jati diri agar kita tahan uji, memiliki kepribadian yang baik, bersikap kritis. Terhadap diri sendiri generasi muda hendaknya bersikap jujur, menerima diri apa adanya, menahan diri terhadap berbagai godaan yang mencelakakan, memiliki kepekaan dan kejernian nurani, tahu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Dalam cerminan sejarah dengan nafas nasionalisme kita berlangkah maju dengan pasti menatap masa depan penuh ceria. Dirgahayu Sumpah Pemuda 28 Oktober 2010, damai negeriku, jaya bangsaku.

Oleh Wilfridus Angelicus Lolonrian, Guru SMAK St. Petrus Ende.
Kamis, 28 Oktober 2010 | 13:18 WIB
Source
LihatTutupKomentar
Cancel

Berikan Komentar yang Membangun, SPAM dan sejenisnya Tidak Diterima